![]() |
pixabay |
Saya? Masih beruntung. Suami sudah
memiliki rumah sebelum kami menikah sehingga tidak perlu pindah kesana kemari
berganti-ganti rumah kontrakan. Kendaraan? Alhamdulillah motor masih bisa
mengantarkan saya ke tempat tujuan sehingga tidak perlu berpanas-panasan naik
angkot. Perlengkapan rumah tangga lainnya seperti mesin cuci, Alhamdulillah bisa
terbeli dengan tunai tanpa khawatir memikirkan uang cicilan tiap bulannya.
Kurang beruntung apa lagi saya?
Sebenarnya saya tidak ingin
mengeluh. Tapi sedikit rasa berkeluh kesah itu pasti ada. Terlebih ketika
menyadari bahwa anak pertama saya yang masih berumur 10 bulan akan segera
memiliki adik. Iya, saya sekarang sedang mengandung anak kedua saya, yang tanpa
saya sadari sudah dititipkan oleh Allah di rahim saya tiga bulan yang lalu.
Anak pertama saya masih kecil, masih
bayi, masih membutuhkan banyak perhatian. Sedangkan saya harus menangis setiap
hari, ketika tidak bisa memberikan perhatian maksimal untuknya. Ketika saya
tidak bisa (tidak kuat lagi) menggendongnya lama-lama, ketika ASI yang dia
terima tidak sebanyak dan sederas dulu, dan keadaan lain yang membuat saya
merasa tidak maksimal dalam menjalankan peran saya sebagai ibu.
Tapi akhirnya saya sadar bahwa
Allah pasti sudah menakar kemampuan saya. Allah tidak akan memberikan sesuatu
di luar kemampuan hamba-Nya. Walaupun saya masih bertanya-tanya apakah bisa
berbuat adil untuk kedua “bayi” ini, saya harus yakin bahwa semua sudah sesuai
takaran dari-Nya, saya pasti bisa.
Ah, perjuangan saya ini tentu tidak
ada apa-apanya dibanding perjuangan seorang Fatimah.
Fatimah menikah dengan Ali bin Abi
Thalib saat usianya 15 tahun, dengan menjalani kehidupan seadaanya. Waktu itu di
rumah suaminya tidak ada perabot, tempat tidurnya pun dari kulit biri-biri.
Semua urusan rumah tangga diurusnya sendiri. Mengurus anak-anak, menggiling
biji-biji gandum untuk membuatnya menjadi roti, sampai jari jemarinya pun pecah
dan melepuh akibat terkena alat penumbuk gandum.
Apakah beliau mengeluh? Sesaat iya,
ia pernah mengeluh. Keinginannya untuk memiliki budak perempuan disampaikannya
ke Sang Ayah. Namun bagaimana jawaban Rasulullah?
“Maukah kalian kuberi tahu sesuatu yang lebih baik dari yang kamu minta?
Bila hendak naik pembaringan, maka bertakbirlah 33 kali, bertasbihlah 33 kali,
dan bertahmidlah 33 kali. Semuanya itu lebih baik daripada seorang pembantu”.
Sungguh saya malu. Hidup saya
terlalu nyaman jika dibandingkan dengan Sayyidah Fatimah.
Ummahat, swalayan sudah banyak bertebaran jika kita ingin mengkonsumsi roti, tanpa perlu menggiling biji gandum terlebih dahulu.
Ummahat, swalayan sudah banyak bertebaran jika kita ingin mengkonsumsi roti, tanpa perlu menggiling biji gandum terlebih dahulu.
Ukhty, coba tengok tempat tidur
kita. Apakah masih beralaskan tikar yang sudah koyak? Atau coba tengok ke
tumpukan cucian, apakah masih harus repot-repot mengangkat air dari sumur dulu
untuk mencuci?
Maka jika tiba-tiba kau mengeluh,
jangan lupakan sejarah perjuangan Sayyidah Fatimah RA.
--
Tulisan ini diikutsertakan dalam Program One Day One Post Blogger Muslimah Indonesia
selamat ya Mbak, untuk kehamilan anak ke-duanya. Bersyukur adalah hal yang indah Mbak, semoga selalu diberikan nikmat dan rejeki ya. Akupun kadang malu, sudah diberikan banyak kemudahan, masih saja ada eluhan.
ReplyDeleteIya mba, beruntunglah orang orang yang selalu pandai bersyukur di segala keadaan. Terima kasih sudah berkunjung dan salam kenal :)
Deletemasya Allaah, apah saya dibandingkan Fatimah RA. Tapi setidaknya kita sebagai perempuan tetap menjadikan beliau panutan ya, mba
ReplyDelete*apalah saya
DeleteIya ya, sejarah muslimah di zaman dulu sangat banyak mengandung hikmah dan pelajaran bagi kita di zaman ini.
ReplyDelete